Selasa, 20 September 2011

MALAM REBO TANPA REBO




Tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini saya tidak mampir di proyek Jengki Vintage sepulang dari kantor. Langsung menuju rumah kontrakan yang hanya berjarak 150 meter dari si JV.

Biasanya, paling sedikit saya menghabiskan 30 menit untuk sekadar melihat progress pekerjaan hari ini. Sekaligus ngobrol-ngobrol dengan tukang yang menginap di proyek JV. Tidak terasa, hampir 6 bulan lamanya proyek JV sudah berjalan. Sesuai dengan kesepakatan dengan kontraktor, Pak Agung Nurcahyo, sebagian timnya akan menginap di proyek saat JV diwujudkan. "Supaya lebih efisien, karena pagi-pagi mereka bisa langsung kerja," kata Pak Agung, sarjana teknik sipil UGM. Pria asal Madiun ini membawahi banyak anak buah. Sebagian besar dari daerah Sukabumi, dan ada satu orang asal lereng gunung Lawu. Ada juga yang dari Purwarejo, Jamil.

Tukang asal Bromo ini, awalnya saya dikenalkan dengan nama Doel. Lama-lama saya mengetahui dari ucapan Pak Agung, ternyata Doel lebih akrab dipanggil Rebo. Entah dari mana asal-usul nama tersebut, yang jelas saya juga jadi ikut-ikutan memanggilnya Pak Rebo atau Rebo doang.

Sejak masa awal pembongkaran, Rebo adalah pasukan yang paling sering ditugaskan nginap di proyek JV. Seingat saya, dia hanya meninggalkan pos C20 saat pulang sebentar ke kampungnya di Bromo dan saat hari H lebaran. Itu pun untuk menunggui rumah pak Agung di Vila Nisa Indah dekat Cileungsi, yang bersama keluarganya mudik ke madiun.

Selain dengan Rebo, saya juga jadi sangat akrab dengan Pak Amran. Jabatan resminya: mandor. Tapi dia juga sebagai leader tim Sukabumi. Hampir semua tukang asli Sukabumi ada ikatan keluarga dengan Pak Amran. Ada Pak Samani, Pak Samsu. Mereka semua sangat gigih, memiliki skill mumpuni, tanggung jawab, sangat jujur dan menerima rezeki apa adanya. Gak neko-neko.

Ini belum termasuk "vendor" pak Agung yang mengerjakan item-item tertentu di proyek JV. Sebutlah Afung, Gondrong dkk untuk dinding marmer, Pak Toto yang seniman untuk pengecetan besi ralling/pagar serta melamin perabot jati. Lalu ada Pak Resmana buat pembuatan ralling dan pemasangan kasa nyamuk. Ovin dari Pealo untuk pemindahan dan pemasangan kembali Air Conditioning (AC) lama. Juga Pak Karso asal Ciamis yang spesialis Kitchen set dan masih banyak lagi. Khusus vendor, hanya tim marmer Gondrong yang nginap di C20. Selebihnya, datang hanya pada saat pemasangan.

Dari percakapan dengan Rebo, Pak Amran dkk yang hampir setiap malam itu sejak 6 bulan lalu, seakan saya diingatkan kembali untuk down to earth. Memaknai arti perjuangan hidup, menghargai tetes keringat, loyalitas, kejujuran, tanggung jawab, saling menghargai sesama. Sesuatu yang kadang dinomorsekiankan dalam kehidupan modern di Republik ini.

Mulai cerita soal pekerjaan mereka, tingkat kesulitan, tahap-tahap pengerjaan, desain, saran pemilihan material, dan segudang masalah-masalah teknikal lainnya. Dari keakraban itu, topik pun mengalir ke hal-hal lain. Termasuk personal. Saya kemudian jadi tahu, Rebo ini pernah dua kali gagal membina rumah tangga. Dan, dengan alasan etis, tentu tidak saya sampaikan di sini. "Yang jelas, saya masih trauma untuk memulai hubungan baru dengan cewe," kata Rebo yang memang terlihat polos dan lugu kalau soal makhluk lawan jenis.

Rebo memang ibarat the Last Mohican atau the Last Samurai yang bertugas di C20. Di saat rekan-rekannya sudah berpindah tugas ke proyek Pak Agung di daerah Kebon Jeruk, Rebo masih ditinggal untuk membereskan perintilan pekerjaan. Seperti pengecat tembok yang kotor lagi akibat cap tangan tukang lain, coating batu alam, poles teraso dan masih banyak lagi. Sadar tidak sadar, Rebo pun terlihat mulai percaya kepada saya untuk berbicara apa saja. Termasuk memberikan saya backround soal agama Hindu di lereng Gunung Bromo. Sangat fasih dan lengkap, karena Rebo memang menganut agama Hindu, seperti yang diturunkan dari keluarganya. Di luar soal agama yang dianut, Rebo tidak ada bedanya dengan pria Jawa lainnya. Rebo terkesan sangat sopan, tahu diri dan punya pengendalian emosi yang luar biasa.

Sesekali saya membawakan kue-kue kecil untuk menemani percakapan kami. Kadang bisa sampai jam 2an alias menjelang subuh. Tiba-tiba saya merasa nyaman berbicara dengan orang yang SMP saja tidak tamat. Saya teringat masa kecil. Di saat teman sekompleks lebih suka dengan kelompok elitis sesama anak tajir, saya juga bergaul dengan para tukang becak dan teman sebaya dari kalangan lebih marginal. Saya merasa menemukan kembali the Lost world. Sesuatu yang lama hilang: tentang ketulusan, kepolosan, tanpa sandiwara, tanpa hidden agenda, tanpa KPI -- ini singkatan dari Key Perfomance Indicator -- yang makin menjerat pekerja di sektor modern, seperti saya sekarang ini.

Malam Rabu ini. Tiba-tiba saya merasa kehilangan. Karena sejak sore tadi, Rebo sudah ditarik ke mess. Ini istilah untuk rumah para tukangnya Pak Agung di sekitar kota wisata. Hari ini adalah masa terakhir, Rebo merampungkan pekerjaannya. Sehingga sejak Malam Rabu ini, Rebo tidak lagi menginap di proyek JV. Ada perasaan haru menyelinap. Terima kasih Rebo, juga Pak Amran dan teman-teman lainnya. Enam bulan ini, saya tidak saja mendapatkan rumah renovasi seperti angan-angan kami. Tapi juga arti persahabatan dan makna hidup yang lebih dalam lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar