Selasa, 05 Juli 2011

meja telepon model jengki


Blind date. Itulah sepenggal pengalaman saya dengan meja jengki berukuran mini. Tidak pernah lihat foto, apalagi barangnya. Percaya saja, saya minta dikirim dengan deskripsi singkat: "Modelnya lucu, ukuran mini, kaki jengki dan kayaknya cocok untuk naro telepon."

Hanya dua hari, barang ini sudah sampai di tangan saya. Insting saya benar. Meja atau bisa juga perpaduan dengan bufet atau credensa mini, rasanya jadi barang langka. Saya belum pernah melihat model ini sebelumnya. Ukurannya kira-kira PxLxT: 60x30x40cm. Unusual kan?

Lebih menggiurkan, urat jati keluar sangat jelas. Tampaknya memang dari bahan jati lama berkualitas super. Kelihatannya tanpa paku besi sama sekali. Artinya menggunakan teknik "memaku" dengan kayu jati juga. Unsur non-kayu, hanya bagian handle dan sepatu yang membalut di ke-4 kaki jengki yang kurus. Tampaknya terbuat dari perak berkualitas tinggi. Seratus tahun lagi, asal tidak dibakar atau dibanting keras, saya yakin meja ini tidak akan rusak atau dimakan rayap.

Tinggal bagaimana mendandani supaya si jengki mini ini tampil apik dan anggun. Eh, saya jadi ingat ada tetangga yang baru saya kenal 4 atau 5 hari lalu. Namanya pak Toto. Rambutnya gonbel alias gondrong belakang. Khas model 80an. Mirip gaya Oddie Agam atau Dian Pramana Putra semasa jayanya. Tapi rambut Pak Toto, bagian kiri kanannya, mulai ditumbuhi uban. Aslinya, Wong Yogya ini hanya bertugas menjaga rumah kosong. Sang Juragan rumah, pegawai BUMN yang lagi ditugaskan di Kalimantan. Walau terbilang baru mengenalnya, tapi dengan cepat saya bisa mengorek keahlian pak Toto. Ternyata dia memiliki skill menghaluskan, dan memplitur ulang perabot jati. Singkatnya, jago finishing kayu.

Daripada bosan menunggui rumah kosong, saya menawarkan untuk memoles meja jengki model mangga. Iya senang bukan main. Hasilnya cihuy. Dan karena itu, saya pun melanjutkan kerjasama. Termasuk untuk melakukan proses manny-paddy pada jengki mini ini. "Beresnya mungkin besok ya, pak," info pak Toto. Saya mengangguk dan menyebut tidak perlu buru-buru.

Tak disangka, muncul suara lain mirip eho. "Iya pak Toto. Tidak usah buru-buru. Santai saja. Wong rumah yang direnovasi aja belum kelar. Sebulan juga tidak masalah. Ya, mungkin mendekati lebaran lah. Poko'e, dikerjakan dengan tenang, teliti dan rapi. Ojo kesusu. Sing penting, hasilnya mantap, top markotop dan owkeeh punya."

Haaaah? Kok eho atau amplitudo ini lebih panjang dari kata-kata asli saya. Cenderung berlebihan. Oooowwwww, ternyata suara itu keluar dari mulut bibi Ela. Asisten yang tinggal di rumah. Dia emang suka "icam" alias ikut campur. Nambah-nambahin komentar kita dengan panjelasan panjang lebar, hiperbolik dan ga penting.

Saya agak tertegun dengan lancarnya dia berkomunikasi. Padahal satu bulan terakhir ini, saya cenderung menggunakan bahasa tunawicara alias bahasa isyarat. Kapok pake bahasa Indonesia. Ngomong A, ditangkap B dan dikerjakan C. Sering tidak nyambung. Kalau pun ada alat bantu berkomunikasi, paling banter saya menggunakan jasa lonceng kecil, milik Anet. Kring..kring..kring..

Aksi bi Ela belum berhenti. Dengan semangat 45, buru-buru si Estewe ini ambil gunting untuk mencopot tali rafiah dan kertas koran yang melilit meja kerdil ini. Saking bersemangatnya berdekatan dengan Pak Toto, weitzzzz... gumbrang, dia terjungkal ke belakang. Menimpa ada 6 besi timah yang lagi dijajarkan di dinding tembok. Kontan 6 unit besi ralling yang masing-masing berukuran 77x17cm bergelimpangan. Menimbulkan suara berisik lumayan mengagetkan. Gumbraaaaaang. Padahal, untuk membuka tali rafiah dan koran itu, ternyata tidak perlu pakai gunting. Cukup dipelorotkan ke bawah.

Aya-aya wae..

Koleksi Jati Lama dari Jatim





Tak pernah bermimpi, tiba-tiba saya diapproach oleh satu pimpinanku di jl Panjang. "Secepatnya lu mesti ke Surabaya," katanya pelan. Saya bertanya, "Ini perintah atau diskusi?" Dijawab, harus dilaksanakan. Oalah... alamak jah, daripada buang waktu adu argumentasi dengan boss, karena memang prinsipnya tidak boleh menolak tugas, saya mengangguk sambil meringis. Besoknya saya langsung berkemas-kemas, meski minimal ada dua hal yang berat saya tinggalkan: kondisi 2A dan peluang sekolah ke Inggris.

Tentu saja bagaimana dengan 2A. Si Sulung sedang masa pancaroba. Ada anak tetangga, dipanggil Bleki, akhir-akhir ini sering dolan ke rumah. Jelas bukan untuk menggonggong. Feeling saya selalu tidak enak, setiap kali dia lewat dan menyapa sok ramah, "Sore, Oom." Mana ada orang tua yang mau anak perempuannya dekat dengan lajang yang etos pendidikannya melempem. Apalagi sesekali saya melihatnya lebih mirip kuli dibanding sinyo-sinyo di kandangnya sendiri. Untungnya, kejadian menegangkan itu tidak berlangsung lama. Si Sulung sendiri yang memutuskan untuk menjauhkan diri. Sampai sekarang saya tidak tahu apa alasan resminya, dan mungkin ada baiknya tidak perlu tahu. Kita semua pernah muda kan?

Pertimbangan si bungsu, lebih berat lagi. Usianya yang masih 1 tahun, tentu sangat berat untuk ditinggalkan beda kota. Lagi lucu-lucunya. Apalagi beberapa bulan terakhir, dia sering sakit. Gampang flu dan sesak napas. Bisa dibayangkan beratnya hijrah ke Surabaya. Tak ada lagi makhluk yang pipis sambil berdiri di C20.

Faktor lain yang dirasa cukup memberatkan adalah jika ke Surabaya untuk jangka waktu yang tidak tahu berapa lama, otomatis saya harus melepaskan peluang meraih beasiswa untuk studi di Inggris. Rasanya sulit mengabaikan mimpi-mimpi bersekolah doktoral di salah satu universitas di Inggris. Menyebut nama Oxford, Cambridge, Imperial College London, St. Andrews, Durham, Warwick, York, Lancaster, Edinburgh, Exeter atau Bath, membuat air liur pengen ngences. Maklum, baru bangun tidur.

Kebetulan, di akhir-akhir masa studi, saya mendapatkan IPK salah satu yang tertinggi di pascasarjana manajemen komunikasi UI. Dan karena itu mendapatkan penawaran untuk mengikuti seleksi bertahap untuk program S3 ke Inggris. Belum tentu lulus sih, tapi karena pindah domisili kota, konsekuensinya saya harus melepaskan kesempatan itu. Mungkin belum rezeki. Begitu saya membesarkan hati.

Tiba di kota Surabaya, saya segera bisa melupakan semua kegalauan. Mendapatkan teman kantor yang baik, ramah, semangat tinggi dan supportif. Dodo, Soni, Dian, Anang, Kipli, Indra, Abbas, mas Hero, gandi, Dimas, dan banyak lagi. Juga mendapatkan kawan-kawan baru dari luar kantor. Sego Sambel alias SS Wonokromo adalah makanan kesukaanku. Terletak di tengah pasar agak dekil, hampir saban malam saya rela antre untuk mendapatkan 1 piring SS. Padahal menunya "cuma" nasi hangat, telor dadar, tempe dan ikan goreng.

Tapi sambelnya yang maut itu, membuat saya ketagihan. Harga, kalo tidak salah masih Rp 3.500 per porsi. Mentraktir teman kantor pun, tidak lah memberatkan. Lama-lama peserta SS dari kantor Jemursari makin berkurang. Mungkin tidak tahan pedas atau heran dengan selera saya yang itu-itu saja. Ini doyan atau kikir ya? Mungkin begitu pikir mereka yang resign dari tim SS. Bukan pasukan NAZI lho ya, tapi Sego Sambel.

Di luar pekerjaan kantor, saya mulai ketularan berburu perabot lama dari kayu jati. Daripada beli Oli*pic atau L*gna yang akan hancur kalau kena hujan -- apalagi banjir - mendingan beli perabat lama dari kayu jati. Asal pintar milih, pasti akan dapat barang bagus dan harga reasonable atawa masuk akal. Begitu nasihat teman-teman yang sudah duluan kecebur. Mas Agus, Mas Sigit, Mas Iko, Rong, dhw, kopy, Pak dokter kelamin, Babe Nanang Baso adalah biang racunnya.

Perburuan pun dimulai. Setiap ada waktu lowong, saya menjelajah Surabaya dan kota-kota kecil di Jawa Timur. Kebetulan saya dipercayakan memegang mobil operasional Hyundai Elantra warna merah jreng. Begitu mendapat sepotong informasi, saya segera terbang ke lokasi. Sering tersesat, tapi lebih sering lagi memang ketemu barang bagus.

Selesai bayar, biasanya lemari atau kursi saya titip di penjualnya. Males bawa ke rumah kontrakan. Entar repot. Sambil titip duit tambahan untuk dikerok dan pelitur ulang. Bahkan ada yang harus di bedah total.

Salah satu pengalaman paling menegangkan adalah saat mendapatkan meja vanderpol di kawasan kota Surabaya lama. Yang pertama kali melihat, bukan saya sih. Tapi mas Kopy, rekan kami yang juga kolektor enamel dan barang lama. Sebetulnya dia sudah sangat sugih sebagai juragan pelek. Tapi tetap ulet kalau soal tawar-menawar.

Saking alotnya dia menawar meja vanderpol itu, si penjual mengalihkan dagangannya ke saya. Melihat belum ada transaksi, saya menaikkan tawaran. Eh, sekali nawar langsung dikasih. Mas Kopy keki berat. Meja untuk ruang tamu itu pun jadi perebutan dan perdebatan panas yang tidak ada habisnya, sampai sekarang. Pak Kopy merasa lebih berhak. Sementara saya yang merasa halal menawar, tidak sudi melepas barang berharga ini.

Tahukah Anda berapa harga meja ini waktu saya beli? Ilustrasinya begini. Jika punya Toyota Fortuner Diesel dan Anda mengisinya full tank dengan Pertamina Dex, maka duitnya lebih besar beli sekali bbm itu dibanding harga meja Vanderpol.

Coba perhatikan perabot jati pada foto-foto di atas. Ada yang lebih murah dari meja Vanderpol, namun ada juga yang lebih mahal. Tapi tetap hitungannya progresif rasional. Tidak ada yang luar biasa expensive. Namun, sekarang Anda tidak akan mungkin mendapatkan harga segitu. Beberapa bulan lalu, ketika saya kembali ke Surabaya untuk tugas one day trip, iseng-iseng saya kembali ke kawasan Surabaya kota tua. Ya ampyuuun, harganya rata-rata sudah 5 kali lipat. Bahkan ada yang lebih. "Barang jati lama, makin susah dik," keluh si penjual yang sudah opa-opa itu.

Kembali ke soal pola saya menitipkan perabot yang sudah saya bayar itu. Saat keluar SK untuk menarik saya ke Jakarta hampir dua tahun kemudian, tepatnya 1 Maret 2004, pelan-pelan saya kumpulkan perabot jati lama itu untuk dikirim ke C20 Jakarta. Gilee, ternyata hampir penuh satu truk size jumbo.

Senin, 04 Juli 2011

Banaran dan Semar

Kopi Banaran. Terletak antara Semarang dan Ungaran menuju Solo

Batik Semar di kota Solo

Cak Bambang yang Spektakuler


Foto ini saya ambil secara candid saat test drive Suzuki New Baleno dari Padang menuju Danau Singkarak. Wajahnya sepintas mirip Pak Jenderal Polisi Rusdihardjo, dulu Kapolri dan kemudian jadi Dubes RI di Malaysia. Kebayangkan kan, waktu masih mudah, pasti banyak gadis yang klepek-klepek kalau berkenalan dengannya. Bukan karena kesengsem, tapi buat nagih utang. hehehe.. Guyu Cak.

Pria energik ini punya beragam panggilan. Becak, Cak Bembi, Cak Bambang, Daddy, si Spektakuler dan masih banyak lagi. Padahal nama aslinya, uapik tenan, Bambang Prijambodho. Kera Ngalam ini sempat kuliah jurusan seni rupa di IKIP. Bermacam-macam profesi pernah digelutinya. Ya, pekerja seni, modifikator motor roda dua, buka bengkel mobil, makelar tanah, jual Soto Ayam, ikut pementasan seni, jago ngelas besi, calon cover boy majalah trubus sampai cawe-cawe di Event Organizer (EO).

Karena cawe-cawenya di EO itulah yang membuatnya berkenalan dengan tim tabloid Otomotif yang bikin acara gilas mobil di Surabaya. Dari situ, Cak Bembi diajak jadi wartawan, khususnya menjadi kepala Biro Surabaya. Itu suka-sukanya anak jakarta menyebut kepala biro. Wong dia hanya sendiri di Kota Buaya. Siapa anak buahnya ya?

Saking pahamnya dunia teknik, sampai-sampai hasil tulisannya waktu tahun 1995 itu agak sulit dipahami orang lain. Sehingga saya sempat ditugaskan ke Surabaya untuk melakukan tentir alias supervisi. Alih-alih mengajari menulis lebih efisien, selama di Surabaya saya malah disuguhi pemandangan dan cerita aneh-aneh.

Ada kisah mengamuknya tante Yola, karena menemui suaminya sedang mengetik naskah, tapi ada makhluk lain tidur di kolong meja. Juga sering diajak berkeliling kota Surabaya dengan Vespa. Masuk gang ke luar gang. Begitu sampai hotel, energi saya sudah habis. Tidak kuat lagi membahas struktur kalimat dan cara membuat heading menggoda. Zzzz... Sebelum pulang ke jakarta, saya hanya berpesan: pengetahuanmu sebetulnya sangat luas. Tinggal bagaimana caranya supaya orang lain mengerti apa yang sampeyan ingin sampaikan. Lha, emang itu pokok masalahnya?

Kami kemudian berpisah. Saya ditugaskan menggawangi tabloid baru. Sementara cak Bambang ditarik ke Jakarta. Kali ini dia mencoba peruntungan lain sebagai fotografer. Reporter lebih junior paling suka jalan sama Cak Bembi. Karena selain pengetahuan dan networknya yang luas, ia juga suka sekali menyetir. Sehingga reporter selalu bisa tes kenyamanan (baca: tidur) saat liputan dengan mobil operasional.

Gaya bicaranya -- khas Suroboyoan -- meledak-ledak dan bersemangat. Kalo lagi bicara sama saya, orang lain mungkin menyangka kami sedang bertengkar hebat. Maklum sama-sama bervolume tinggi. Ini mungkin ciri khas anak Gunung, yang terlatih bicara dengan keras supaya orang lain bisa mendengar dari jarak 1 km. Dan khusus Cak Bambang, kalau berbicara susah disetop. Burung Beo pasti angkat topi.

Paling sebal bila dia mencoba berkomunikasi dengan bahasa Manado. "Kita orang jadi pukimak sampe bapontar-pontar," kicaunya. Iki ngomong opo toh, Le? Jelas-jelas gaya medhok-nya gak bisa hilang, lha ini malah pake Manado segala. Kagak pantes kedengaran di telinga. Orang malah jadi tahu sampeyan sehari-harinya tak berkutik sama orang Manado. Hehehehe.. Guyu lagi cak.

Nasib kemudian mempertemukan kami sebentar di majalah lisensi Jerman, Auto Bild. Entah lantaran karma atau takdir, saya malah dicemplungkan ke Surabaya selama hampir 2 tahun. Terdengar ada kabar saya akan ditarik lagi ke Jakarta, eh Cak Bambi malah direlakan ke Otomotif tv dengan status "free transfer". Kali ini, kamera SLR-nya dipensiunkan. Sekarang dia jadi kameramen tv. Saya kagum bukan main, di usia 45, dia masih punya nyali dan elan untuk mencoba hal-hal baru. Mungkin tidak seperti saya dan kebanyakan orang yang sudah masuk comfort zone.

Satu yang tidak berubah dari ayah dua anak ini adalah gayanya yang spektakuler. Lebih penting bagaimana cara memperolehnya, dibanding hasilnya. Pernah dia mengambil gambar mobil bergerak dari ojek, dengan posisi duduk menghadap ke belakang. "Lha, kalau tiba-tiba ada lubang atau ngerem mendadak, kameranya bisa hancur," goda seorang teman yang sengaja tidak lagi menyebut soal keselamatan jiwa. Percuma kasih warning, dia merasa nyawanya triple. Gugur satu, masih ada serep dua.

Pernah juga mengambil gambar dari ranting pohon, dan nyaris patah. Hasilnya gimana? Pasti bagus dong. "Biasa-biasa aja tuh. Malah cenderung gak fokus," geli sang Producer laporan ke saya sebagai Executive Producer alias EPI-EPIan. Yang lain, dia pernah melilitkan tubuhnya dengan seutas tali di bak terbuka saat mengambil gambar konvoi Grand Livina di daerah Bromo. Tetap saja, hasil gambarnya biasa-biasa saja. Mungkin kalo proses mengambil gambarnya yang ditayangkan, penonton akan terkejut. Serasa menonton "Aneh tapi Nyata", "Guiness Book of Record" atau "Amazing Shocking" atau "Scary Job" atau "Operah Winfrey" atau "Master Chef".

Namun entah kenapa saya selalu percaya 100% sama Cak Bambang. Dari hal-hal profesional sampai urusan atau benda pribadi yang biasanya jarang saya libatkan teman kantor. Enteng saja saya percayakan dipegang atau dikerjakan oleh ponakan dari Pak Dimyati Hartono ini. Ketulusan, kegigihan dan kejujurannya, mungkin itu yang tidak ada duanya.

Kini dia mengarungi kerasnya hidup di Jakarta dengan usaha dan keringatnya sendiri. Karena satu hal, dia hanya punya pilihan pendi alias pensiun dini. Saya percaya, cak Bambang akan sanggup melewati -- bahkan mungkin -- mendapatkan hasil lebih baik. Dengan segudang talenta yang diberikan oleh Tuhan, saya punya keyakinan rezekinya akan muncul dengan cara yang tidak pernah diduga sebelumnya. Dua putranya yang tinggi badannya hampir satu setengah kali cak Bambang, kini hampir rampung kuliahnya. Apalagi dia didampingi oleh wanita kuat, walau agak cerewet dan meleleh kalau mendengar suaminya dekat dengan wanita lain.

Matur nuwun cak Bambang untuk pesahabatan kita selama 16 tahun. Semoga kita masih diberi umur panjang untuk 16 tahun ke depan.

Harajuku

Minggu, 03 Juli 2011

sang penari dan yuni lepas susuk


Tiga tahun terakhir Anet jadi penari di Operet Bobo. Dua yang pertama, sebagai kelinci. Kali ini, dipercaya jadi Kurcaci. Semoga tahun depan jadi Peri-Peri Cantik. Gerakan si Mimut amat lentur dan lincah. Gampang menghapal gerakan tari yang diinstruksikan pelatihnya. Setiap kali Anet tampil, ada rasa haru dan bangga. Dengan daya tahan tubuhnya yang relatif lebih ringkih dibanding kakak, ternyata Anet memiliki kelebihan motorik dan daya ingat yang hebat. Suka sekali minum susu alias sluli. Sebetulnya dipantangkan makan cokelat atau ice cream. Tapi kadang-kadang, jika memang kondisinya kelihatan fit, kami sedikit memberi kelonggaran.

Bersamaan dengan selesainya pementasan pertama kemarin (Sabtu, 2 Juli 211), saya juga menerima kiriman foto dari grup bbm. Nama filenya: Yuni melepas susuk. Buru-buru saya buka. Karena itu adalah nama mamanya Anet. Siapa tahu emang dia selama ini pake susuk, selain punya sluli tentunya. Ughhhh, leganya. Ternyata yang dimaksud adalah pasangan Rafi Ahmad yang sedang doyan susu tuwir.

Sabtu, 02 Juli 2011

Inspirasi: Nenek dan Minyak Goreng

Suatu ketika saya bertemu dengan seorang nenek. Dia, yang yang ringkih dengan kebaya bermotif kembang itu, tampak sedang memegang sebuah kantong plastik. Hitam warnanya, dan tampak lusuh. Saya duduk disebelahnya, di atas sebuah metromini yang menuju ke stasiun KA.

Dia sangat tua, tubuhnya membungkuk, dan kersik di matanya tampak jelas. Matanya selalu berair, keriputnya, mirip dengan aliran
sungai.Kelok-berkelok. Hmm...dia tampak tersenyum pada saya. Sayapun balas tersenyum. Dia bertanya, mau kemana. Saya pun menjawab mau kuliah, sambil bertanya, apa isi plastik yang dipegangnya.


Minyak goreng, jawabnya. Ah, rupanya, dia baru saja mendapat jatah
pembagian sembako. Pantas, dia tampak letih. Mungkin sudah seharian dia
mengantri untuk mendapatkan minyak itu. Tanpa ditanya, dia kemudian
bercerita, bahwa minyak itu, akan dipakai untuk mengoreng tepung buat
cucunya. Di saat sore, itulah yang bisa dia berikan buat cucunya.

Dia berkata, cucunya sangat senang kalau digorengkan tepung. Sebab, dia tak punya banyak uang untuk membelikan yang lain selain gorengan tepung buatannya. Itupun, tak bisa setiap hari disajikan. Karena, tak setiap hari dia bisa mendapatkan minyak dan tepung gratis.
Degh. Saya terharu. Saya membayangkan betapa rasa itu begitu indah.

Seorang nenek yang rela berpanas-panas untuk memberikan apa yang terbaik buat cucunya. Sang nenek, memberikan saya hikmah yang dalam sekali. Saya teringat pada Ibu. Tuhan memang Maha Bijak. Sang nenek hadir untuk menegur saya. Sudah beberapa saat waktu sebelumnya, saya sering melupakan Ibu. Seringkali makanan yang disajikannya, saya lupakan begitu saja. Mungkin, karena saya yang terlalu sok sibuk dengan semua urusan kuliah. Sering saat pulang ke rumah, saya menemukan nasi goreng yang masih tersaji di meja, yang belum saya sentuh sejak pagi.

Sering juga saya tak sempat merasakan masakan Ibu di rumah saat kembali, karena telah makan di tempat lain. Saya sedih, saat membayangkan itu semua. Dan Ibu pun sering mengeluh dengan hal ini. Saya merasa bersalah sekali. Saya bisa rasakan, Ibu pasti memberikan harapan yang banyak untuk semua yang telah dimasaknya buat saya. Tentu, saat memasukkan bumbu-bumbu, dia juga memasukkan kasih dan cintanya buat saya. Dia pasti juga akan menambahkan doa-doa dan keinginan yang terbaik buat saya. Dia pasti, mengolah semua masakan itu, mengaduk, mencampur, dan menguleni, sama seperti dia merawat dan mengasihi saya. Menyentuh dengan lembut, mengelus, seperti dia mengelus kepala saya di waktu kecil.
***

Metromini telah sampai. Setelah mengucap salam pada nenek itu, saya pun
turun. Namun, saya punya punya keinginan hari itu. Mulai esok hari, saya akan menyantap semua yang Ibu berikan buat saya. Apapun yang diberikannya.
Karena saya yakin, itulah bentuk ungkapan rasa cinta saya padanya. Saya
percaya, itulah yang dapat saya berikan sebagai penghargaan buatnya. Saya berharap, tak akan ada lagi makanan yang tersisa. Saya ingin membahagiakan Ibu. Terima kasih Nek.


*) Sebuah cerita inspirasi yang saya dapatkan 10 tahun lalu. Penulisnya entah siapa. Masih saya simpan, karena sangat menyentuh. Setiap kali saya membacanya, setiap kali pula saya kangen sama mammi. Juga kepada pappi yang Insya Allah berada di tempat yang lebih indah di sana.

Jumat, 01 Juli 2011

Inspirasi Jengki dari Tanah Yankee


2010. Mendapat kesempatan istimewa ke Detroit, Michigan. Sembari melaksanakan tugas dengan serius, tapi enjoy dan kedinginan, tentu saya tidak ingin melepaskan kans istimewa mempelajari hal-hal yang berbau jengki di tanah asalnya sendiri.

Mungkin karena perubahan zaman, tapi sejauh saya memandang terutama di daertah Dearborn (tempat industri Ford berasal) dan Detroit, desain jengki dengan tarikan khas miring, tidak begitu menonjol lagi. Tapi bukan berarti jejak rekam jengki sudah punah sama sekali. Salah satu yang cukup mengejutkan adalah saat memasuki museum Motown di pinggiran Detroit.

Bersama rekan Johnny TG, wartawan foto dari Kompas yang sering menakjubkan menghasilkan karya foto, kami menyempatkan diri ke Motown. Foto-foto yang saya upload di tag Detroit ini, tentu saja merupakan karya Johnny TG. Tidak mungkin kan saya motret sendiri. Hehehe..

Banyak yang menyebut Motown sebagai cikap bakal lahirnya industri rekaman musik modern di Amerika. Dirintis oleh Berry Gordy Jr pada 14 April 1960. Seniman besar seperti Jackie Wilson, the Matadors, diana Ross, Michel Jackson and the Jackson 5-nya, Stevie Wonder, The Temptation, The Supremes, adalah musisi yang dibesarkan dari Motown.

Berry Gordy Jr membeli sebuah properti rumah pada 1959. Bangunan inilah yang kemudian disulap jadi tempat rekaman, dan kemudian dikenal sebagai Motowns Hitsville USA yang melegenda sampai sekarang. Ide renovasi rumah yang terjadi pada awal 1960 ini sangat dipengaruhi oleh gaya yankee atau junkiest yang memang sedang menjadi trend di Amerika saat itu. Garis-garis tipis pada atap teras dan kolom-kolom utama, jelas memberi petunjuk yang sahih bahwa Motown sangat dipengaruhi oleh gaya jengki.


Sisa-sisa kejayaan jengki, tidak hanya ditemui di Motown. Tapi juga di pusat kota Detroit seperti tampak pada foto-foto lainnya. Landmark kota Detroit, juga bangunan utama Hard Rock Cafe Detroit juga menyiratkan aplikasi jengki pernah begitu mendominasi tanah Yankee.

Pantas lah kalo warga Amerika yang datang ke Indonesia pada akhir 1960 dan awal 1970 begitu mengidolakan gaya jengki. Mereka mencoba membuang penyakit home sick karena sekian lama jauh dari tanah kelahiran mereka dengan sebuah identitas yang amat khas bagi mereka, ya Jengki itu. Tapi yang tidak terduga dampaknya. Virus jengki juga sempat mewarnai mainstream arsitektur dan lifestyle di Indonesia. Khususnya di tahun-tahun 70an.

Vintage

Sebagian orang salah mengartikan "Vintage". Kata ini acapkali dikaitkan dengan sesuatu yang tua serta, old fashion dan out model. Menyebut Vintage sering diasosiasikan ke anggur (wine) yang berusia cukup lama, keluaran tahun-tahun tertentu. Biasanya dikaitkan musim petik anggur terbaik. Atau hobi mengoleksi mobil-mobil tua dan klasik. Atau out-model clothing yang skerap juga dipakai oleh brand seperti Levi's, Guess, atau Polo.


Memang tidak 100% salah. Tapi supaya tidak misleading, makna Vintage menjadi sangat spesifik dan sempit, ada baiknya kita cuplik definisi Vintage menurut Dictionary by Farlex: "Characterized by excellence, maturity, and enduring appeal; classic". Terjemahan bebasnya menjadi: Vintage adalah pencerminan sebuah kesempurnaan karakter, kematangan, bertahan lama dan Klasik.

Kalau defenisi Farlex bisa disetujui, maka jelas sudah Vintage tidak spesifik ditujukan untuk wine, car and clothing. Tapi juga sangat relevan bila digunakan untuk dunia arsitektur, design, ornamen, material bahkan pernik-pernik rumah.


Vintage tidak dibatasi oleh ruang waktu tertentu, sebagaimana halnya terminologi jengki, baby boomers, punk rock, renaissance, gothic, masa kolonialisme dan sebagainya. Tapi penggunaan kata Vintage lebih elastis, menembus sekat-sekat waktu dan aliran. Sepanjang karakternya dianggap sempurna, maturity, bertahan lama dan klasik (ingat Farlex), maka sebuah karya atau ide dapat dianggap Vintage.


Nah, dengan begitu konsep Jengki Vintage dapat diartikan sebagai sebuah gaya atau aliran atau desain yang terinspirasi dari pakem jengki dengan pengayaan (enrichment) atau penguatan (reinforcement) dari ornamen-ornamen Vintage. Yaitu dengan ciri kekuatan karakter yang mendekati sempurna, matang, bertahan lama dan klasik.