Selasa, 05 Juli 2011

meja telepon model jengki


Blind date. Itulah sepenggal pengalaman saya dengan meja jengki berukuran mini. Tidak pernah lihat foto, apalagi barangnya. Percaya saja, saya minta dikirim dengan deskripsi singkat: "Modelnya lucu, ukuran mini, kaki jengki dan kayaknya cocok untuk naro telepon."

Hanya dua hari, barang ini sudah sampai di tangan saya. Insting saya benar. Meja atau bisa juga perpaduan dengan bufet atau credensa mini, rasanya jadi barang langka. Saya belum pernah melihat model ini sebelumnya. Ukurannya kira-kira PxLxT: 60x30x40cm. Unusual kan?

Lebih menggiurkan, urat jati keluar sangat jelas. Tampaknya memang dari bahan jati lama berkualitas super. Kelihatannya tanpa paku besi sama sekali. Artinya menggunakan teknik "memaku" dengan kayu jati juga. Unsur non-kayu, hanya bagian handle dan sepatu yang membalut di ke-4 kaki jengki yang kurus. Tampaknya terbuat dari perak berkualitas tinggi. Seratus tahun lagi, asal tidak dibakar atau dibanting keras, saya yakin meja ini tidak akan rusak atau dimakan rayap.

Tinggal bagaimana mendandani supaya si jengki mini ini tampil apik dan anggun. Eh, saya jadi ingat ada tetangga yang baru saya kenal 4 atau 5 hari lalu. Namanya pak Toto. Rambutnya gonbel alias gondrong belakang. Khas model 80an. Mirip gaya Oddie Agam atau Dian Pramana Putra semasa jayanya. Tapi rambut Pak Toto, bagian kiri kanannya, mulai ditumbuhi uban. Aslinya, Wong Yogya ini hanya bertugas menjaga rumah kosong. Sang Juragan rumah, pegawai BUMN yang lagi ditugaskan di Kalimantan. Walau terbilang baru mengenalnya, tapi dengan cepat saya bisa mengorek keahlian pak Toto. Ternyata dia memiliki skill menghaluskan, dan memplitur ulang perabot jati. Singkatnya, jago finishing kayu.

Daripada bosan menunggui rumah kosong, saya menawarkan untuk memoles meja jengki model mangga. Iya senang bukan main. Hasilnya cihuy. Dan karena itu, saya pun melanjutkan kerjasama. Termasuk untuk melakukan proses manny-paddy pada jengki mini ini. "Beresnya mungkin besok ya, pak," info pak Toto. Saya mengangguk dan menyebut tidak perlu buru-buru.

Tak disangka, muncul suara lain mirip eho. "Iya pak Toto. Tidak usah buru-buru. Santai saja. Wong rumah yang direnovasi aja belum kelar. Sebulan juga tidak masalah. Ya, mungkin mendekati lebaran lah. Poko'e, dikerjakan dengan tenang, teliti dan rapi. Ojo kesusu. Sing penting, hasilnya mantap, top markotop dan owkeeh punya."

Haaaah? Kok eho atau amplitudo ini lebih panjang dari kata-kata asli saya. Cenderung berlebihan. Oooowwwww, ternyata suara itu keluar dari mulut bibi Ela. Asisten yang tinggal di rumah. Dia emang suka "icam" alias ikut campur. Nambah-nambahin komentar kita dengan panjelasan panjang lebar, hiperbolik dan ga penting.

Saya agak tertegun dengan lancarnya dia berkomunikasi. Padahal satu bulan terakhir ini, saya cenderung menggunakan bahasa tunawicara alias bahasa isyarat. Kapok pake bahasa Indonesia. Ngomong A, ditangkap B dan dikerjakan C. Sering tidak nyambung. Kalau pun ada alat bantu berkomunikasi, paling banter saya menggunakan jasa lonceng kecil, milik Anet. Kring..kring..kring..

Aksi bi Ela belum berhenti. Dengan semangat 45, buru-buru si Estewe ini ambil gunting untuk mencopot tali rafiah dan kertas koran yang melilit meja kerdil ini. Saking bersemangatnya berdekatan dengan Pak Toto, weitzzzz... gumbrang, dia terjungkal ke belakang. Menimpa ada 6 besi timah yang lagi dijajarkan di dinding tembok. Kontan 6 unit besi ralling yang masing-masing berukuran 77x17cm bergelimpangan. Menimbulkan suara berisik lumayan mengagetkan. Gumbraaaaaang. Padahal, untuk membuka tali rafiah dan koran itu, ternyata tidak perlu pakai gunting. Cukup dipelorotkan ke bawah.

Aya-aya wae..

1 komentar: